Filsafat Pendidikan dan Implikasinya terhadap Kurikulum 2013
Filsafat Pendidikan dan Implikasinya terhadap
Kurikulum 2013
A. Pendahuluan
Dari sekian banyak unsur sumber daya pendidikan, kurikulum merupakan salah
satu unsur yang bisa memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan
proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Jadi, tidak dapat
disangkal lagi bahwa kurikulum, yang dikembangkan dengan berbasis pada
kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik
menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah; dan (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab
(Kemendikbud, 2013: 2).
Kurikulum
merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh
kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan
kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dipandang sembarangan.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan
kepada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum
yang tidak didasarkan kepada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap
kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya akan berakibat pula
terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Landasan-landasan tersebut—yang
perlu dirumuskan dengan saksama—meliputi
(1) landasan yuridus,
(2) landasan filosofis,
(3) landasan teoretis, dan
(4) landasan empiris.
Keempat
landasan ini memiliki esensi dan implikasi yang luas dalam penyusunan sebuah
kurikulum yang mampu mengakomodasi segala tuntutan perkembangan zaman yang
secara dimensional bersifat komprehensif dan saling memengaruhi.
Landasan filosofis memiliki urgensi yang strategis
dengan mempertimbangkan bahwa Kurikulum 2013 diupayakan antara lain sebagai
jawaban atas kebutuhan akan pola pengembangan pendidikan yang mampu
merekonstruksi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini tergerus
oleh perkembangan masif dari fenomena materialisme dan hedonisme.
Praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme yang tergelar di media massa
memperlihatkan secara kasat mata fenomena yang mencemaskan itu. Dengan kerangka
pemikiran sebagaimana dideskripsikan di atas, tulisan ini diupayakan untuk
memberikan gambaran tentang aliran filsafat perenialisme, eksistensialisme,
progresivisme, dan rekonstruksionisme ditinjau dari konten filosofi
pendidikannya dan implikasinya terhadap pengembangan landasan filosofis
Kurikulum 2013.
B.
Konten Filosofi Pendidikan Empat
Aliran Filsafat
1. Filsafat Perenialisme
Istilah
filsafat perenial diduga untuk pertama kali digunakan di dunia Barat oleh
seorang bernama Augustinus Steuchus (1497—1548) sebagai judul karyanya, De
Perenni Philosophia, yang diterbitkan pada tahun 1540 untuk kemudian
dipopulerkan oleh Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646—1716) dalam sepucuk suratnya
yang ditulis pada tahun 1715 (Hasan, 2006: 944).
Inti
pandangan filsafat perenial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi
esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul
melalui beragam nama dan bungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. Dengan kata
lain, dalam bentuk esoteris agama-agama terdapat kesatuan transenden
esoterikal, yang dapat mengantarkan para pemeluk agam pada perspektif yang genuine
dan original dalam memandang kebhinekaan agama (Hasan, 2006: 944—945).
Perenialisme
melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan krisis di
berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perenialisme
memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau”
(regresive road to culture). Oleh sebab itu, perenialisme memandang penting
peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini
kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal; yang telah teruji
ketangguhannya.
Di bidang
pendidikan, perenialisme sangat dipengaruhi oleh Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aquinas. Dalam hal ini, pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
adalah manifestasi dari hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal,
sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas
normatif dalam tata pemerintahan. Tujuan utama pendidikan adalah “membina pemimpin
yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek
kehidupan”.
Ada tiga
istilah kunci dalam filsafat perenialisme: intelegensi (intelligence),
kehendak (the will), dan kebaikan (the virtue). Filsafat ini,
menurut Suhaimi (tt: 1) memfokuskan diri pada kebenaran yang dianggap bersifat
primordial, dalam arti abadi (timeless) dan universal (spaceless).
Abadi karena dinilai berlaku sejak dahulu sampai kini dan akan datang;
universal karena ditemukan dalam semua tradisi agama dan bahkan karya seni
sakral (sacred arts).
Menurut
Frithjof Schoun[1]
inteligensi tidak lain dari kepanjangan atau komplemen kehendak. Schuon
mengatakan bahwa fungsi mendasar dari inteligensi adalah membedakan yang riil
dengan yang palsu atau antara yang permanen dengan yang tidak permanen,
sedangkan fungsi mendasar kehendak adalah mengikatkan diri dengan yang riil dan
permanen. Pembedaan dan keterikatan ini adalah inti terdalam bagi semua
spiritualitas (Suhaimi, tt: 1—2).
Bagi Schuon,
rentang aktual inteligensi sedemikian luasnya sehingga semua yang ada di dunia
ini tidak pernah proporsional atau sebanding dengan rentang itu. Ini
terjadi karena menurutnya inteligensi diciptakan untuk yang Absolut. Fakta
inilah yang merupakan salah satu kunci untuk memahami sifat dan takdir ultim
kita yang sebenarnya. Selanjutnya Schuon mengatakan bahwa inteligensi tanpa
kebenaran bukan apa-apa dan tanpa kebaikan ia tidak akan mampu mengandung
kebenaran. Di sisi lain, kehendak tanpa kebaikan bukan apa-apa, dan kehendak
tanpa kebaikan tidak akan dapat merealisasikan kebaikan (Suhaimi, tt: 2—3).
Perenialisme
menganggap bahwa hakikat manusia adalah konstan atau tetap. Manusia mempunyai
kemampuan memahami dan mengerti kebenaran-kebenaran universal dari alam. Tujuan
pendidikan adalah mengembangkan rasionalitas manusia dan membuka
kebenaran-kebenaran universal dengan cara melatih intelektual.
Kurikulum
perenial bersifat subject center (berpusat pada subjek) dengan tekanan
pada bahasa, sastra, matematika, seni, dan sains. Guru dipandang sebagai orang
yang ahli di bidangnya. Karena itu ia harus menguasai bidangnya atau disiplin
ilmunya, dan harus memiliki kemampuan membimbing siswa untuk berdiskusi. Mengajar
didasarkan terutama sekali pada metode Socrates, yaitu penjelasan secara lisan
atau perkuliahan. Minat siswa tidak relevan untuk pengembangan kurikulum karena
siswa belum matang dan tidak punya pertimbangan untuk menentukan apa
pengetahuan dan nilai-nilai terbaik apa yang akan dipelajarinya. Oleh karena
itu, kurikulum berdasarkan filsafat ini sangat bersifat elektif (semua sudah
ditentukan/tidak ada pilihan).
Ciri perenialisme adalah lebih menekankan pada
keabadian, keidealan, kebenaran, dan keindahan daripada warisan budaya dan
dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang
memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut paham ini
menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada
tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
2. Filsafat
Eksistensialisme
Pragmatisme
berasal dari Amerika, sedangkan eksistensial itu berasal dari Eropa. Menurut
kaum eksistensial ini manusia dihadapkan kepada berbagai pilihan dalam situasi
yang dihadapinya. Setiap manusia menciptakan defenisinya sendiri termasuk dalam
melakukannya sesuai dengan pilihannya.
Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan
pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subjektif. Eksistensialisme
memandang bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang
mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati, kekhawatiran, dan
keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian. Eksistensialisme menentang
segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai
manusia. Objektivitas sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan
masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung
menganggap manusia sebagai nomor dua setelah benda. Kehidupan pada umumnya dan
manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi secara objektif
dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan tak berarti.
Sebailknya, eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut
kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang
individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia
terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan
pengalamannya yang subjektif (Titus dkk., 1984: 385).
Eksistensialis mengatakan bahwa
kebenaran adalah pengalaman sunjektif tentang hidup. Kita mengalami kebenaran
dalam diri kita, kebenaran tentang watak manusia, dan takdir manusia bukannya
suatu hal yang dapat diraba dan dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak
atau dengan proposisi. Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan
menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan
atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek yang
konkret dan intim dari pengelaman manusia, atau sesuatu yang istimewa dan
personal, maka mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau bentuk-bentuk
seni lain, yang akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan
hati manusia (Titus dkk., 1984: 385).
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah
membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab.
Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas biologi atau lingkungan
tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam eksistensialisme
perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya, atau
lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat
impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan, dan
keputusan-keputusannya. Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud
pribadi dan keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi
interpretasi-interpretasi dunia yang menghilangkan artinya (Titus dkk., 1984:
386).
Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan;
kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai
kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat
memahaminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia
serta mengekspresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi
pilihan-pilihan, menetapkan keputusan-keputusan, serta bertanggung jawab
tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana
halnya sekarang (Titus dkk., 1984: 386).
Eksistensialisme lebih menyukai benda secara bebas
untuk memilih apa yang ingin dipelajarinya dan yang dianggapnya benar karena
sasaran eksistensialisme sama dengan pragmatis yaitu meningkatkan kehidupan
umat manusia. Pembelajaran lebih banyak diskusi atau dialog tentang apa yang
dianggapnya baik.
3. Filsafat
Progresivisme
Progresivisme
dikembangkan dari pragmatisme. Menurut paham ini keterampilan dan alat untuk
belajar meliputi metode problem solving dan scientific-inquiry.
Pengalaman belajar harus meliputi perilaku kerja sama dan disiplin diri.
Keduanya dianggap penting untuk kehidupan yang demokratis. Bagi penganut paham
progresivisme, kurikulum interdisipliner, buku, dan disiplin keilmuan (materi
pelajaran) adalah bagian dari proses belajar, bukan sumber ilmu pengetahuan.
Peranan guru unik; dia berfungsi sebagai pembimbing siswa dalam pemecahan
masalah dan project scientifics. Guru dan siswa merencanakan aktivitas
bersama-sama. Sifat progresivisme berpusat pada anak (student-oriented)
dan pendidikan progresif berpusat kepada anak sebagai peserta didik tidak
sebagai subjek didik. Progresivisme lebih menekankan aktivitas dan pengalaman
daripada kegiatan verbal; dan pembelajaran dengan cara bekerja sama daripada
kompetisi.
Saat ini
progresivisme terlihat dalam beberapa gerakan seperti relevansi kurikulum,
kurikulum humanistik; dan reformasi sekolah yang radikal. Relevansi
kurikulum maksudnya peserta didik harus dimotivasi dan ditarik ke dalam belajar
dalam bentuk tugas; dan kelas harus diberi pengalaman-pengalaman yang nyata.
Kurikulum humanistik menekankan pada hasil belajar afektif yang berakar pada
pandangan Abraham Moslow bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk menciptakan
orang-orang yang mampu beraktualisasi diri. Reformasi sekolah yang radikal
mengubah suasana sekolah dari suasana yang eksis saat ini di mana guru
berperan sebagai penjaga penjara; sekolah sebagai penjara; tidak ada kebebasan
untuk berekspresi diubah ke situasi sekolah yang memiliki kebebasan yang besar.
Ciri progresivisme adalah menekankan pada pentingnya
melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman
belajar, dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar
peserta didik aktif.
4. Filsafat Rekonstruksionisme
Tokoh
rekonstruksinisme antara lain adalah Theodore Branell. Rekonstruksionisme
menganggap siswa dan guru tidak hanya mengambil posisi tertentu tetapi juga
mesti bertindak sebagai agen perubahan untuk memperbaharui masyarakat.
Netralitas dalam kelas tidak perlu untuk proses demokrasi, tetapi guru dan
siswa harus mengambil sikap untuk memberikan alasan-alasan berpartisipasi dalam
tanggungjawab sosial. Dalam kurikulum, pendidikan harus sesuai dengan ekonomi
politik yang baru. Bagi rekonstruksionis, analisis, interpretasi, dan evaluasi
tidak cukup; komitmen dan aksi dari siswa dan guru diperlukan karena masyarakat
selalu berubah, maka kurikulum juga berubah. Kurikulum yang didasarkan pada
isu-isu sosial dan pelayanan sosial dianggap ideal. Masalah-masalah yang
terjadi di masyarakat dimasukkan ke dalam kurikulum; perubahan dalam masyarakat
diatasi oleh kurikulum, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan.
Ciri rekonstruktivisme adalah merupakan elaborasi
lanjut dari aliran progresivisme. Peradaban manusia masa depan sangat
ditekankan. Menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme,
rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berpikir
kritis, dan sejenisnya.
C. Landasan Filosofis Kurikulum 2013
Setelah membahas secara relatif memadai empat filsafat tersebut di atas,
kita dapat membandingkan konten filosofis yang tergambar di dalamnya dengan
rumusan tekstual landasan filosofi Kurikulum 2013 sebagaimana diuraikan berikut
ini. Dengan demikian, akan dapat dilihat apakah rumusan itu mengandung
nilai-nilai yang terpresentasi dalam filsafat-filsafat pendidikan itu.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU
RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Untuk mengembangkan
dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, pendidikan berfungsi
mengembangkan segenap potensi peserta didik “menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggungjawab” (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional).
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional maka pengembangan
kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini,
dan kehidupan bangsa di masa mendatang.
Pendidikan berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu
proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris
dan pengembang budaya bangsa. Melalui pendidikan berbagai nilai dan
keunggulan budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan
menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai dengan zaman di mana
peserta didik tersebut hidup dan mengembangkan diri. Kemampuan menjadi
pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila
pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial
memberikan dasar untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai
individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia.
Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa
dengan segala aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa
kini. Oleh karena itu, konten pendidikan yang mereka pelajari tidak
semata berupa prestasi besar bangsa di masa lalu tetapi juga hal-hal yang
berkembang pada saat kini dan akan berkelanjutan ke masa mendatang. Berbagai
perkembangan baru dalam ilmu, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik yang
dihadapi masyarakat, bangsa dan umat manusia dikemas sebagai konten pendidikan.
Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini memberi landasan bagi
pendidikan untuk selalu terkait dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun kehidupan bangsa yang
lebih baik, dan memosisikan pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan
sosial, budaya, dan alam. Lagipula, konten pendidikan dari kehidupan bangsa
masa kini akan memberi makna yang lebih berarti bagi keunggulan budaya bangsa
di masa lalu untuk digunakan dan dikembangkan sebagai bagian dari
kehidupan masa kini.
Peserta didik yang mengikuti
pendidikan masa kini akan menggunakan apa yang diperolehnya dari pendidikan
ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan 12 tahun dan berpartisipasi penuh
sebagai warganegara. Atas dasar pikiran itu maka konten pendidikan yang
dikembangkan dari warisan budaya dan kehidupan masa kini perlu diarahkan untuk
memberi kemampuan bagi peserta didik menggunakannya bagi kehidupan masa depan
terutama masa dimana dia telah menyelesaikan pendidikan formalnya. Dengan
demikian sikap, keterampilan dan pengetahuan yang menjadi konten pendidikan
harus dapat digunakan untuk kehidupan paling tidak satu sampai dua dekade
dari sekarang. Artinya, konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi
Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi dasar bagi peserta didik
untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi,
anggota masyarakat, dan warganegara yang produktif serta bertanggungjawab di
masa mendatang.
D. Implikasi
Setelah membandingkan konten filosofis yang tergambar di dalam filsafat
perenialisme, eksistensialisme, progresivisme, dan rekonstruk-sionisme dengan
rumusan tekstual landasan filosofi Kurikulum 2013 di atas, dapat kita tarik
suatu simpulan bahwa Kurikulum 2013 secara filosofis bersifat ekliktik.
Kurikulum ini tampak mengodifikasi nilai-nilai ideal yang terkandung di dalam
empat filsafat pendidikan itu, dan mengeliminasi muatan-muatan yang bersifat
negatif dan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki bangsa
Indonesia yang bersumber utama pada nilai-nilai luhur Pancasila dan ciri
pribadi bangsa yang sesungguhnya memiliki keragaman potensi ketangguhan dalam
menghadapi berbagai tantangan perubahan zaman.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa
ekliktisme Kurikulum 2013 tidak terbatas pada empat filsafat itu, tetapi juga
termasuk filsafat-filsafat lain yang memuat kandungan nilai yang baik dan
relevan. Lebih jauh bahkan ekliktisme itu juga melibatkan berbagai nilai dan
norma yang ada di dalam keragaman sistem budaya dalam pengertian yang luan yang
ada di dunia ini, termasuk di dalamnya nilai-nilai religiositas yang terkandung
di dalam keragaman agama.
Sumber: http://uge-karyanto.blogspot.com/2014/03/filsafat-pendidikan-dan-implikasinya.html

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda