Asal Mula Tangerang dan Balaraja
A. Asal Mula Nama Daerah Tangerang dan Penduduk Tangerang
Menurut tradisi lisan yang menjadi
pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan
sebutan Tanggeran yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata
“tengger” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda” yaitu berupa tugu yang
didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar
pertengahan abad 17. Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut Tangerang berasal
dari kata Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g). Daerah yang dimaksud berada
di bagian sebelah barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di
ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu dibangun oleh Pangeran
Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tugu tersebut tertulis
prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai
berikut:
Bismillah peget Ingkang Gusti Diningsun
juput parenah kala Sabtu Ping Gasal Sapar Tahun Wau Rengsena Perang nelek
Nangeran Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian Sakebeh Angraksa Sitingsung
Parahyang-Titi Terjemahan dalam bahasa Indonesia : Dengan nama Allah tetap Maha
Kuasa Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu Untuk mempertahankan batas Timur
Cipamugas (Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian Semua menjaga tanah kaum
Parahyang
Sedangkan istilah “perang” menunjuk
pengertian bahwa daerah tersebut dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang
antara Kasultanan Banten dengan tentara VOC. Hal ini makin dibuktikan dengan
adanya keberadaan benteng pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat
Cisadane dan benteng pertahanan VOC di sebelah Timur Cisadane. Keberadaan
benteng tersebut juga menjadi dasar bagi sebutan daerah sekitarnya (Tangerang)
sebagai daerah Beteng. Hingga masa pemerintahan kolonial, Tangerang lebih lazim
disebut dengan istilah “Beteng”.
Menurut cerita yang berkembang di
masyarakat, sekitar tahun 1652, benteng pertahanan kasultanan Banten didirikan
oleh tiga maulana (Yudhanegara, Wangsakara dan Santika) yang diangkat oleh
penguasa Banten. Mereka mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan sekaligus
menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa,
diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan (tiga
tiang/pemimpin). Mereka mendapat mandat dari Sultan Agung Tirtoyoso (1651-1680)
melawan VOC yang mencoba menerapkan monopoli dagang yang merugikan Kesultanan
Banten. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana tersebut
berturut-turut gugur satu persatu.
Perubahan sebutan Tangeran menjadi
Tangerang terjadi pada masa daerah Tangeran mulai dikuasai oleh VOC yaitu sejak
ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April
1684. Daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara
Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (bule) tetapi juga
merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya
ditempatkan di sekitar beteng. Tentara kompeni yang berasal dari Makasar tidak
mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”.
Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan hingga kini.
Sebutan “Tangerang” menjadi resmi pada
masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pemerintah Jepang melakukan pemindahan
pusat pemerintahan Jakarta (Jakarta Ken) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo
M Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken seperti termuat dalam Po
No. 34/2604. Terkait pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang tersebut,
Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang kemudian menetapkan tanggal tersebut
sebagai hari lahir pemerintahan Tangerang yaitu pada tanggal 27 Desember 1943.
Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II
Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984.
B. Asal Mula Penduduk Tangerang
Latar belakang penduduk yang mendiami
Tangerang dalam sejarahnya dapat diketahui dari berbagai sumber antara lain
sejumlah prasasti, berita-berita Cina, maupun laporan perjalanan bangsa kulit
putih di Nusantara.
“Pada mulanya, penduduk Tangeran boleh
dibilang hanya beretnis dan berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli
setempat, serta pendatang dari Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian sejak
1526, datang penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon
yang beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan
perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah
pesisir Tangeran sebelah barat”.
Orang Banten yang menetap di daerah
Tangerang diduga merupakan warga campuran etnis Sunda, Jawa, Cina, yang
merupakan pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten dan kemudian ke
wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa juga makin bertambah sekitar tahun 1526
tatkala pasukan Mataram menyerbu VOC. Tatkala pasukan Mataram gagal
menghancurkan VOC di Batavia, sebagian dari mereka menetap di wilayah Tangeran.
Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia
Tenggara sejak sekitar abad 7 M, diduga juga banyak yang kemudian menetap di
Tangeran seiring berkembangnya Tionghoa-muslim dari Demak. Di antara mereka
kemudian banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah
mereka juga kian bertambah sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan
akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang Tionghoa
kemudian ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke daerah sekitar
Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di Tangeran.. Di
kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi tuan-tuan tanah yang
menguasai tanah-tanah partikelir.
Penduduk berikutnya adalah orang-orang
Betawi yang kini banyak tinggal di perbatasan Tangerang-Jakarta. Mereka adalah
orang-orang yang di masa kolonial tinggal di Batavia dan mulai berdatangan
sekitar tahun 1680. Diduga mereka pindah ke Tangeran karena bencana banjir yang
selalu melanda Batavia.
Menurut sebuah sumber, pada tahun 1846,
daerah Tangeran juga didatangi oleh orang-orang dari Lampung. Mereka menempati
daerah Tangeran Utara dan membentuk pemukiman yang kini disebut daerah Kampung
Melayu (Thahiruddin, 1971).
Di jaman kemerdekaan dan Orde Baru,
penduduk Tangerang makin beragam etnis. Berkembangnya industri di sana,
mengakibatkan banyak pendatang baik dari Jawa maupun luar Jawa yang akhirnya
menjadi warga baru. Menurut sensus penduduk tahun 1971, penduduk Tangerang
berjumlah 1.066.695, kemudian di tahun 1980 meningkat menjadi 1.815.229 dan
hingga tahun 1996 tercatat mencapai 2.548.200 jiwa. Rata-rata pertumbuhan
per-tahunnya mencapai 5,23% per tahun.
Untuk sekedar memetakan persebaran
etnis-etnis di Tangerang, dapat disebutkan di sini bahwa daerah Tangerang Utara
bagian timur berpenduduk etnis Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi.
Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah
Tangeran Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara
sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa[3]. Persebaran penduduk tersebut
di masa kini tidak lagi bisa mudah dibaca mengingat banyaknya pendatang baru
dari berbagai daerah. Maka, apabila ingin mengetahui persebaran etnis di
Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang lebih mendalam.
Halim, Wahidin. Ziarah Budaya Kota
Tangeran Menuju Masyarakat Berperadaban Akhlakul Karimah, Tangerang, 2005 [2]
Migrasi orang Lampung ke Tangerang, diduga terkait perlawanan penguasa Lampung
terhadap pemerintahan kolonial pada tahun 1826. Perlawanan ini di pimpin Raden
Imba dari Keratuan Darah Putih. Tahun 1826 sampai dengan 1856 merupakan masa
perang Lampung (Perang Raden Intan). Namun sayang, pada tanggal 5 Oktober 1856
Raden Intan II gugur dalam peperangan menghadapi tentara jajahan dibawah
pimpinan Kolonel Waleson. Perang Lampung pun akhirnya berakhir. (Bandingkan
Ekadjati, Edi S. Sejarah Kabupaten Tangerang, Pemda Tangerang: 2004.
SEJARAH BALARAJA
I. Balaraja dari Masa ke Masa
A. Balaraja Masa Kerajaan Banten
Balaraja yang terletak di Tangerang bagian
barat yang menyimpan bukti sejarah dan titik nadirnya dimulai dari nama daerah
ini. Nama kota Balaraja terdapat dua versi akar nama sejarah kota ini.
Pertama, Balaraja berasal dari kata bala
(bale) dan raja. Bale berarti balai atau tempat persinggahan. Dan raja yang
dimaksud di sini adalah raja yang berasal dari kerajaan Banten. Artinya tempat
peristirahatan raja. Pernyataan ini dikuatkan dengan sebuah tempat pemandian
yang dikenal dengan nama Talagasari (Tempat ini kemudian menjadi nama desa).
Letak tempat pemandian tersebut tepat
berada di depan balai dulu gedung Kewedanaan Balaraja dan sekarang dijadikan
gedung Kecamatan Balaraja tersebut. Diperkirakan berada di Klinik Aroba,
tepatnya di belakang Mesjid Al-Jihad. Hal ini mengingatkan kita pada Tasik Ardi
dekat Situs Surosowan, Banten.
Ada berbagai versi mengenai diri raja yang
beristirahat di wilayah ini. Pertama ada yang menyatakan Raja Brawijaya dari
Majapahit dan Sultan Agung dari Mataram yang tercatat dalam sejarah pernah
menyerang Batavia.
Versi kedua dan ketiga ini sebenarnya kurang kuat. Jika dilihat dari bukti yang tersebar di sekitaran Balaraja kini. Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten.
Versi kedua dan ketiga ini sebenarnya kurang kuat. Jika dilihat dari bukti yang tersebar di sekitaran Balaraja kini. Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten.
Kedua, terdapat makam Buyut Sanudin
letaknya berada di Kampung Leuweung Gede Desa Parahu Kecamatan Sukamulya.
Ketiga, Makam Nyi Mas Malati di Kampung Bunar, Desa Bunar Kecamatan Sukamulya.
Pejuang wanita Banten di Tangerang.
Dan yang terakhir Makam Uyut Ambiya. Makam
yang pernah membuat heboh seantaro Nusantara karena makam ini mendadak membesar
seperti orang hamil. Dari beberapa hikayat bahwa Uyut Ambiya ini salah satu
pemimpin perang Banten versus Kompeni Belanda. Sebagian orang ada yang
mengatakan Uyut Ambiya ini orang yang sama dengan Buyut Talim.
Jika ditinjau dari persebaran bahasa. Di
Balaraja terdapat pulau bahasa Jawa Banten yang berada di Kampung Pekong Desa
Saga Kecamatan Balaraja. Kemiripan kosa kata dengan bahasa di bantaran sungai
dan pesisir pantai di wilayah kerajaan Banten.
Dari bukti-bukti tersebut Balaraja sangat
kental dengan perjuangan Banten melawan Kompeni Belanda yang berada di batas
demarkasi sebelah Timur Cisadane. Wajar saja sebab wilayah ini dibelah oleh
sungai Cimanceri sebagai jalan menuju Batavia pada waktu itu.
Adapun versi etimologi, Balaraja yang
kedua. Kata Balaraja berasal dari dua kata, Yakni kata bala tentara raja
kemudian untuk memudahkan sebuta disingkat menjadi balaraja. Versi ini juga
mengakui bahwa bala tentara raja ini berasal dari Banten.
Jika kita kaitkan dengan bukti yang
tersebar di sekitaran kota ini sangat cocok. Sebab bukti makam yang berada
disekitaran Balaraja pun dipenuhi oleh makam para pejuang yang berasal dari
Banten.
Nama Kota Balaraja pernah diinterpretasi
oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam tausiyah di Mesjid At-Taqwa, Tanjung
Karang, Bandar Lampung, 1998. Ketika itu penulis masih menjadi mahasiswa di
sana. Beliau mengatakan bahwa tanda-tanda kejatuhan Soeharto itu ditandai oleh
membesarnya (baca: Hamilnya) makam para pejuang Banten di desa Tobat.
Sign pada kata “Bala”
bermakna bencana dan “raja” itu presiden yang berkuasa dalam hal ini, Soeharto.
Tempat makam tersebut berada di desa Tobat. Bencana bagi presiden menandakan
bencana yang menimpa Soeharto dan kroninya untuk segera bertobat. Kata bertobat
itu merujuk pada nama desa tempat makam berada.
B. Balaraja Masa Kolonial
Sejarah Balaraja ketika zaman Kolonial
Belanda tak lepas dari sejarah berdirinya Tangerang yang pada waktu itu
ditetapkan sebagai kontroleur afdeling yang dikepalai seorang kontroleur.
Daerah itu dibagi dalam beberapa wilayah administrasi distrik (orang Balaraja
bilang: kewedanaan) yang dikepalai seorang demang (dimulai 1881)—tahun 1907
kemudian diganti dengan wedana.
Berdasarkan Staatblad van het Nederlands
Indie No. 185 tahun 1918 luas wilayah tersebut 1309 Km2 yang terdiri dari
distrik Tangerang, Belaraja (Blaraja) dan Mauk. Pada perkembanganya dimekarkan
menjadi empat sehingga pada tahun 1934 berdirilah Kewedanaan Curug.
Dalam ranah birokrasi kolonial Belanda jabatan yang
paling tinggi untuk bumiputera adalah wedana dan kepala jaksa. Jabatan ini pun
pada umumnya dipegang oleh bangsawan Sunda dari Priangan atau Cirebon.
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda yang menjabat sebagai Wedana Balaraja, antara lain: Rangga Jaban Abdoel Moehi (17 Maret 1881-1907), Mas Martomi Abdoelhardjo (17 Juli 1907-1910), Soeid bin Soeoed (31 Oktober 1910-1924), R. Soeria Adilaga (22 Mei 1924-1925), R. Abas Soeria Nata Atmadja (26 Februari 1925-1925), R. Kandoeroen Sastra Negara (28 November 1925-1918), R. Achmad Wirahadi Koesoemah (11 Mei 1928-1930), Mas Sutadiwirja (27 Oktober 1930-1932), R. Momod Tisna Wijaya (28 Mei 1932-…), Toebagoes Bakri (1 Februari 1934-1935), R. Moehamad Tabri Danoe Saputra (20 Juni 1935-1940), dan Mas Moehamad Hapid Wiradinata (17 Juni 1940-…) .
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda yang menjabat sebagai Wedana Balaraja, antara lain: Rangga Jaban Abdoel Moehi (17 Maret 1881-1907), Mas Martomi Abdoelhardjo (17 Juli 1907-1910), Soeid bin Soeoed (31 Oktober 1910-1924), R. Soeria Adilaga (22 Mei 1924-1925), R. Abas Soeria Nata Atmadja (26 Februari 1925-1925), R. Kandoeroen Sastra Negara (28 November 1925-1918), R. Achmad Wirahadi Koesoemah (11 Mei 1928-1930), Mas Sutadiwirja (27 Oktober 1930-1932), R. Momod Tisna Wijaya (28 Mei 1932-…), Toebagoes Bakri (1 Februari 1934-1935), R. Moehamad Tabri Danoe Saputra (20 Juni 1935-1940), dan Mas Moehamad Hapid Wiradinata (17 Juni 1940-…) .
Adapun wilayah distrik tak lepas dari
tanah partikelir. Jika kita konversikan sekarang tanah partikelir di Balaraja
(1900-1910) tersebut terdiri dari Antjol Victoria of Daroe (sekarang masuk ke
wilayah Kecamatan Jambe dan sebagian Kab. Bogor), Antjol Pasir (sekarang masuk
kecamatan Jambe), Blaradja en Boeniajoe (sekarang masuk wilayah kecamatan
Balaraja dan Sukamulya), Tigaraksa (sekarang masuk wilayah kecamatan
Tigaraksa), Tjikoeja (sekarang masuk wilayah Kecamatan Cisoka dan Solear),
Karangserang dalem of Kemiri (sekarang masuk wilayah kecamatan Kemiri),
Pasilian (sekarang masuk wilayah kecamatan Kronjo), Djenggati (sekarang masuk
wilayah Kabupaten Serang), Tjakoeng of Kresek (sekarang masuk wilayah kecamatan
Kresek). Tanah partikelir ini digelontorkan kepada pihak swasta untuk disewakan
oleh Kompeni Belanda akibat kebangkrutan VOC. Swastanisasi tanah milik Negara
merupakan solusi untuk menutupi kebangkrutan kas VOC waktu itu.
C. Balaraja Masa Revolusi
Pergolakan di Balaraja terjadi ketika
pasca perang dunia II saat bom atom Hirosima-Nagasaki meluluhlantakan Jepang.
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, 1945. Efeknya Indonesia mampu
merebut kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Anehnya berita kemerdekaan Republik
Indonesia telat diterima oleh warga Tangerang, termasuk daerah-daerah di bawah
kewenangan Kewedanaan Balaraja pada saat itu.
Pergolakan Tangerang tak lepas dari peran
serta komando Resimen Tangerang yang di dalamnya terdapat lasykar rakyat.
Berita dari pelaku lasykar pernah di dengar penulis dari almarhum Sersan
Sawinan (mantan TRI) ketika terjadi baku tembak antara Tentara Belanda (Gurkha)
dan Lasykar rakyat di Pasar Balaraja lama.
Beliau menceritakan bangunan pasar
dibombardir (baca: digranat) oleh tentara Belanda. Kekaguman penulis saat itu
mengarah pada struktur kekuatan beton bangunan pasar yang tetap tangguh.
Mungkin sesuatu yang susah dicari tandingannya dengan bangunan di zaman
sekarang.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Masa revolusi yang menjadi catatan pahit
adalah zaman gedoran Cina. Peristiwa ini tercatat dalam berita jurnalistik
sekitar awal Juni 1946. Kampung Parahu dan Kampung Ceplak Kewedanaan Balaraja
adalah kampung yang paling banyak menelan korban warga Cina.
Peristiwa kelam ini bukan berarti melulu
kesalahan pribumi tetapi memang kesalahan sistem kolonial yang membuat pribumi
tertindas. Peristiwa ini pun diperparah dengan identifikasi pribumi terhadap
warga Cina yang menjadi mata-mata Belanda. Kerusuhan muncul mulai dari
Tangerang merambah ke daerah hingga pecah di kawasan Kewedanaan Balaraja.
Syahrir sebagai perdana menteri pada 6
Juni 1946 menyesali peristiwa penggedoran Tangerang. Esoknya Soekarno pun
menyinggung peristiwa tersebut dalam pidatonya yang berjudul “Keadaan Bahaya”.
Sebagai tindak lanjut pemerintah
menginstruksikan kepada Resimen Tangerang untuk melucuti senjata yang berada di
tangan rakyat. Di samping itu, pemerintah pusat mengirimkan misi yang dipimpin
menteri penerangan M. Natsir disertai pejabat kementrian dalam negeri, wakil
Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama wakil golongan Cina, Oey Kim Seng
menginspeksi tempat-tempat terjadinya kerusuhan.
Di Balaraja M. Natsir berpidato dihadapan
massa dan menasihati masyarakat Balaraja. Agar kerusuhan semacam ini tidak
terulang kembali karena akan merugikan pemerintah RI yang baru saja berdiri
dalam meraih citra publik di mata internasional. Dibantu oleh tokoh daerah
seperti Achmad Chotib, Syamoen dan Sutalaksana. Akhirnya warga pribumi dan Cina
pun memahami kekeliruannya.
Ada hal yang patut menjadi perhatian bagi
pembaca bahwa Balaraja pernah menjadi ibukota Kabupaten Tangerang ketika
diduduki tentara Gurkha, Belanda. Pemerintah RI mengangkat R. Achyad Penna
sebagai Patih Pemerintah RI beserta seluruh staf dan aparat pemerintah RI
Kabupaten Tangerang mutasi ke Balaraja, jabatannya pertamanya dari 1945 hingga
1949. Selanjutnya Bupati RI di Balaraja dijabat oleh KH Abdulhadi (Juli 1946),
R. Djajarukmana (1947) hingga jabatan ini kembali ke R. Achyad Penna tahun
(1950-1952).
Sebagai catatan bahwa pada masa revolusi
kedudukan pemerintah RI Kabupaten Tangerang berkedudukan di Balaraja kurang
lebih selama 7 tahun. R. Achyad Penna sebagai orang Tangerang lulusan OSVIA
Serang kemudian menjabat kembali sebagai Bupati Tangerang (1950-1952) setelah
penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah RI.
D. Balaraja Masa Kini
Kewedanaan Balaraja berkembang seiring
dengan perkembangan zaman sistem ini pun dihilangkan dan masing-masing wilayah
partikelir pun menjadi kecamatan. Kecamatan Balaraja, Tigaraksa, Cisoka, Kronjo
dan Kresek. Selanjutnya Balaraja memekarkan Jayanti sebagai kecamatan.
Seiring dengan perkembangan zaman otonomi
daerah, tahun 2007 Bupati Tangerang, Ismet Iskandar memekarkan kembali
Kecamatan Balaraja sehingga jadilah Kecamatan Sukamulya. Kecamatan Kresek
dipekarkan jadilah Kecamatan Gunung Kaler. Kronjo dipekarkan jadilah Kecamatan
Mekar Baru dan Kecamatan Cisoka jadilah tumbuhlah Kecamatan Solear. Sebagai
ancangan pembentukan Kabupaten baru yang bernama Tangerang Barat.
Secara historis Tangerang bagian barat ini
sudah sepantasnya menjadi kabupaten diiringi kelengkapan potensi pendapatan
asli daerah sangat memungkin. Letak geografis yang strategis di antara jalur
lalu lintas nasional yang cukup padat.
Pusat Industri tumbuh dan berkembang di Kecamatan
Balaraja, Jayanti dan Cisoka. Areal perumahan sebagai daerah salah satu
penyangga Ibukota sudah berdiri di setiap kecamatan yang ada di daerah ini. Potensi
pertanian tersebar di wilayah kecamatan Cisoka, Solear, Jayanati, Sukamulya,
Kresek, Gunung kaler, Mekar Baru, dan Kronjo. Adapun potensi kelautan dan
perikanan berpusat di Kecamatan Kronjo dan Mekar Baru.
II. Identitas Budaya Tangbar
A. Budaya Berkesenian Di Tangbar
Budaya menurut Koentjoroningrat merupakan
hasil cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat. Kaitannya adalah berkesenian yang
didorong karena pengolahan rasa sehingga kehalusan budi tercermin dalam pribadi
masyarakatnya. Kehalusan ini akan berdampak pada aspek sosial budaya dan sosial
politik.
Dari proses interaksi berkesenian inilah
budaya pun menjadi pola pikir yang berpengaruh ke seluruh lini perikehidupan
masyarakat. Dan menjadi ‘ruh’ pijakan pemikiran yang disadari ataupun tidak
oleh individu tersebut.
Dari berbagai pengamatan dapat
dideskripsikan diantaranya berkaitan dengan jiwa kesenian yang menjadi landasan
munculnya hal tersebut di daerah ini, diantaranya adalah budaya yang
bernafaskan religi, yang berlandaskan jejak budaya proto masyarakat tersebut
pun akulturasi dengan masyarakat luar.
Di antara budaya yang berlandaskan religi,
tentunya masyarakat Tangbar yang menduduki wilayah seluas 264.03 Km dengan
jumlah penduduk 573.742 jiwa ini komposisi keberagaman pemeluk agama
masyarakatnya adalah Islam, 572.654; Katolik, 249; Protestan, 401; Hindu, 226;
Budha, 212 (Proyeksi dari Urais Kemenag Kab. Tangerang, 2008). Komposisi ini
menunjukkan budaya masyarakat setempat dipengaruhi oleh ritualitas keislaman
yang sangat kental.
Berkesenian secara umum berarti melahirkan
jiwa-jiwa seni atau budaya masyarakat. Di Tangbar budaya Islam yang bisa
dilihat adalah Marhaba Rakbi (dikenal dengan istilah Marhabaan). Uniknya, akhir
tahun 80-an Marhabaan dilakukan untuk prosesi khitanan anak laki-laki.
Sayangnya, prosesi ini hampir bahkan bisa dikatakan punah di wilayah ini.
Penggunaan prosesi ini berbeda di wilayah Banten lainnya seperti yang
dideskripsikan buku ”Profil Seni Budaya Banten” (Dispendik Prov. Banten, 2003).
Seperti di wilayah Banten lainnya,
marhabaan juga digunakan untuk prosesi pemberian nama kepada si cabang bayi.
Sang bayi di arak keliling ketika hadirin berdiri melantunkan Marhabaan diikuti
nampan dengan lilin dan kelapa muda yang dihiasi pernak-pernik uang. Pada saat
diarak itulah cukuran terhadap bayi tersebut dilakukan dan rambut hasil cukuran
dimasukan ke dalam kelapa muda. Menurut Ust. H. Nawawi (alm.) jika orang tuanya
berkelebihan, hasil cukuran ditimbang kemudian digantikan dengan emas, emas pun
dijual hasilnya kemudian disedakahkan atau dijariahkan.
Keunikan lain, dari kebiasaan masyarakat islam Tangbar
yakni selalu dikumandangkannya pembacaan manakib Syekh Abdul Qodir Jaelani atau
lebih dikenal dengan istilah mamaca. Saat penduduk akan melakukan malam
pengisiian rumah baru, pesta perkawinan, ataupun acara selamatan lainnya.
Moment yang paling khas pada prosesi mamaca pengisian rumah adalah di kala sesi
pantek paku.
Adapun pada bagian pupuh tertentu terdapat
acara Numbak, yakni mencoba meramal nasib ke depan dengan menyelipkan uang
recehan atau kertas pada lembaran halaman manakiban tersebut. Memorial acara
ini mengingatkan penulis di rumah KH Djasmaryadi ketika Pak Tile melantunkan
pupuh demi pupuh dengan suaranya yang merdu. Mamaca masih tumbuh subur tetapi
kebiasaan ikutannya sudah jarang dilakukan masyarakat saat ini.
Kesenian rakyat Tangbar lain yang hampir punah
adalah Terbang peninggalan Ibu Nyi Mas Malati sebagaian ada yang mengatakan
peninggalan Syekh Nawawi Al-Bantani yang sekarang dipimpin Bapak Sakib di Desa
Bunar, Sukamulya. Grup kesenian dimainkan oleh lima orang pemain (2 pemain
rebana, 1 pemain kecrek, 1 pemain rebab dan seorang sebagai pedendang
shalawat). Yang menyedihkan tidak ada perawat, penggali, dan penerus kesenian
ini. Diprediksi kurang dari 1 dekade lagi peninggalan kesenian ini tinggal nama
saja.
Satu alat kesenian lagi yang konon nasibnya
akan sama adalah gambang, angklung, dan bedug peninggalan Ki Buyut Kati dari
Tonjong, Kresek. Diperkirakan kemunculan kesenian buhun ini tidak jauh dari
masa keemasan Terbang Ibu Nyi Mas Malati (1658-an). Salah satu tokoh fenomenal
di wilayah ini. Pijakan hukum untuk menjaga budaya ini yang dapat dijadikan
landasan adalah UU No. 5 Thn. 1992 tentang Benda Cagar Budaya Pasal 18 (1) dan
UU No. 19 Thn. 2002 tentang 2002 tentang Hak Cipta Pasal 10 (1) & (2)
sehingga tidak ada lagi ewuh pakewuh atau ‘kebakaran jenggot’ dikemudian hari
atas pengklaiman budaya tersebut.
‘Alam’ kesenian rakyat yang tidak banyak
diminati pemuda saat ini antara lain antara lain kesenian wayang golek. Hasil
wawancara penulis dengan penggiat kesenian rakyat wilayah ini tinggal 3 grouf wayang
golek yang masih eksis di wilayah ini, antara lain: grouf wayang golek Murta
Ponah I pimpinan Dalang Murjana (Sukamulya), Murta Ponah II pimpinan Dalang
Mursidin (Sukamulya), dan Gentra Lodaya II pimpinan Dalang Agus Baskara
(Pangkat-Jayanti). Dua dalang terakhir ini konon kabarnya, sudah diakui di
kancah nasional.
Dari data yang dapat dihimpun kesenian
rakyat lain yang masih eksis adalah topeng. Kesenian ini mirip dengan lenong
Betawi atau lebih mirip dengan lakon jenaka.
Di antara grouf topeng yang masih aktif
berdasarkan penelusuran di daerah ini antara lain grouf Topeng Gentong pimpinan
Gr. Usup (Parahu-Sukamulya), Sinar Balebat pimpinan Bpk. Markata
(Benda-Sukamulya), Centong pimpinan Bpk. Said (Tonjong-Kresek), Giri Asih
pimpinan Bpk. Saudi (Koper-Kresek), Odah-Saputra pimpinan Ibu Odah (Bojong
Manuk-Kresek), Eroh pimpinan Bpk. Cekong (Cempaka-Cisoka), Canung pimpinan Bpk.
Canung (Cempaka-Cisoka), Mekar Wangi pimpinan Bpk. Padil Irawan
(Pangkat-Jayanti).
Dari sekian grouf topeng ini ke-eksistensian-nya
ditentukan para nayaga-nya yang hanya bergantung pada frekuensi panggilan para
peminatnya saja. Oleh karena itu, diperlukan adanya perhatian khusus para
inohong sehingga keberadaanya menjadi ikon wisata budaya daerah ini.
Harapan yang diperlukan adanya design
khusus untuk memajukannya dengan inovasi kekinian dalam rangka mendongkrak
devisa daerah. Budaya-budaya rakyat yang ada pun tidak hanya sebagai simbol
dalam seremonial untuk tujuan mempresentasikan keberadaan kesenian saja tetapi
menjadikan wahana sosialisasi program kerja unggulan Pemda dan bangsa yang
berdampak pada peningkatan indeks pembangunan manusia dan kehalusan budi
masyarakat yang semakin terkikis.
B. Budaya Politik Tangbar
Demokrasi menjadi pilihan bangsa kita yang
majemuk terutama dalam rangka memajukkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pilihan ini yang kemudian menjadikan proses yang memakan
waktu dan kesabaran untuk menjadikan masyarakat kita melek dalam berpolitik dan
menyalurkan hasrat politiknya. Tentu saja proses pengkaderan melek politik ini
telah dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan sejak usia dini hingga manula.
Keharusan pendorong partisipasi masyarakat
bagi 399,427 jiwa dari 203,796 laki-laki dan 195,631 wanita – Total DPS HP*
pada 9 kecamatan di Tangbar – yang menjadi pemilih tetap pada perhelatan
Pilpres setahun lalu, akan menjadi ampuhkah nanti? Tentu, jawabannya ada
dikemudian hari. Bagi bukan menang atau kalah tetapi persentase tingkat
partisipasi masyarakat tersebut ketika pesta digelar. Tetapi pernahkah kita
berpikir bahwa pada saat lepas dari perhelatan tersebut? Ternyata kita masih
punya PR tentang ini. Kita semestinya mendidik masyarakat kita agar melek
politik dalam rangka meminimalisir kekurangan dan kecurangan pesta tersebut.
Masih terbayang oleh ketika masih duduk di
bangku SMA, waktu itu, tidak ada bahasa money politics dalam Pilkades. Namun di
penghujung tahun ’90-an saat Pilkades kembali hadir penyakit itu tiba-tiba
menggerogoti naluri pemilih. Entahlah budaya semacam itu muncul di Tangbar.
Patogensi masyarakat pun semakin menggila-gila. Penulis tidak ingin
mengungkapkan dari mana ‘virus’ itu muncul. Tetapi bagaimana menghilangkan
perlahan-lahan atau jika mampu sekaligus, sehingga tidak menjadi penyakit yang
akut tingkat tinggi dan melumpuhkan pesta demokrasi di kampung kita.
Solusinya adalah mendidik politik bersih
dengan kesenian dan perhelatan dalam ritual keagamaan sehingga penghematan bisa
dilakukan. Karena pada saat itu semua lapisan masyarakat hadir dan bisa tampil
dalam rasa kebersamaan – atau dalam istilah ke-guyub-an. Tumpah ruahnya
masyarakat disaat jauh sebelum menjelang pesta demokrasi menjauhkan anggapan
apriori dan alergi masyarakat terhadap politik.
Kaum muda dan kalangan intelektual harus
bergerak ke depan dan mulai diberi kesempatan untuk sebuah tanggung jawab atas
kemajuan yang dimulai dari perubahan atas kampung halamannya. Stagnasi akan
lincah dengan sendirinya dalam proses dinamisasi zaman jika ditata dengan
sebuah harapan baru. Maka budaya politik baru akan muncul di tanah ini dengan
optimisme yang dipandu oleh jiwa bijak dari sesepuh sebagai pengejawantahan
janji yang telah terucapkan!
Tinjauan kesenian sebagai dagangan yang
bermartabat belum muncul di wilayah ini. Padahal kesenian akan memberikan
dampak yang infiltratif yang halus, lembut dan tumbuh dalam jiwa setiap insan.
Plus disokogurui dengan kegiatan ritual religi yang mampu mengarahkan keguyuban
dalam membelai manusianya untuk berfikir dan menjadikan wilayahnya baldatun
toyibatun warabun gofur.
Dari kesadaran menjaga warisan budaya
guyub inilah warga Tangbar tetap terjaga ketentramannya dari berbagai sudut.
Masyarakatnya yang someah terhadap pendatang dan berangkulan dalam setiap
perhelatan akan tetap terjaga jika diwasiti tanpa kepentingan oleh setiap
aparatur baik oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
III. Globalisasi dan Prilaku Orang Tangbar
Arus industrilisasi mengepung
kampung-kampung di Tangerang Barat perubahan mendasar pun terjadi dari
masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Corak tata cara ini juga yang
membuka cakrawala bahkan tujuan hidup bagi masyarakat di sini. Masyarakat
agraris akan berbeda dengan masyarakat industri sebab hal ini berkaitan dengan
kegiatan orang yang berkejaran dengan target eksistensi personalitas.
Masyarakat agraris lebih banyak
menciptakan budaya guyub, gotong royong. Yang melibatkan banyak orang tanpa
pamrih atau sekedarnya. Adapun masyarakat industri akan berlomba untuk
mengumpulkan pundi-pundi pribadi sehingga hasil dari eksistensi diri lebih
menonjol daripada kolegial.
Gairah masyarakat industri lebih dinamis,
cepat dan praktis sehingga waktu merupakan hal yang begitu penting, time is
money. Berbeda dengan masyarakat agraris yang lebih tergantung pada alam
sehingga waktu pun bergantung pada iklim. Waktu pun tidak begitu ketat mengatur
perikehidupan masyarakat ini.
Simpelnya, masyarakat agraris itu
didominasi pemilik dan masyarakat industri didominasi buruh. Kedudukan
masyarakat agraris didominasi sebagai bos dan masyarakat industri didominasi
pekerja (buruh). Maka perbedaan ini akan mengubah sirkulasi sentuhan antarorang
dan perilaku dari kedua masyarakat secara kontras.
A. Perilaku Masyarakat Tangbar Dahulu
Masyarakat Tangerang Barat dahulu terkenal
dengan kekuatan silaturahminya. Dahulu orang mengenal dengan istilah ampihan,
artinya tempat seseorang yang ditokohkan sehingga banyak orang lain berkumpul
untuk kongko-kongko saja atau memecahkan suatu masalah di tempat tersebut.
Ampihan inilah yang menyebabkan orang dari
daerah lain mampu mendeteksi letak dan posisi anggota masyarakat yang
dikenalnya berada. Ampihan ini pula yang menjadi simpul ketika undangan
menggarap sawah, mendirikan rumah, kerja bakti membersihkan kampung, musibah
ketika kehilangan orang (meninggal) atau kegiatan tahlilan yang akan
dilaksanakan.
Dari ampihan ke ampihan yang lain inilah
yang menjadikan budaya guyub di setiap desa di daerah Tangerang barat. Kegiatan
komunikasi mulut ke mulut waktu itu menjadi jembatan yang paling sukses.
Stasiun informasi pun cukup diparkir di satu ampihan dan setiap orang yang
menjadi anggota menyerapnya. Timbulah kegiatan ngariung sebagai pola kehidupan
bukan saja di saat momen kenduri tetapi dalam segala hal.
Dahulu mudah saja menggerakan sekelompok
pemuda/i untuk menggarap sawah cukup dengan memberi makan siang dan malam.
Dahulu dengan mudah melihat sekelompok pemuda nonton hiburan wayang atau topeng
berjalan beriringan sambil saling lempar guyonan.
Penghargaan terhadap pemudi (baca: wanita)
pun luar biasa dari pemuda-pemuda Tangbar. Ketika mereka mengencani kekasihnya
itu tidak sendirian tetapi diiringi teman-temannya.
Jika pemuda mengajak kekasihnya nonton
hiburan. Yang bergembira bukan saja kekasihnya tetapi orang tua wanita juga
sebab sang pemuda biasanya akan membawa oleh-oleh penganan seperti bacang,
leupeut, bebodor, dan kacang sangrai yang cukup banyak. Konon, bisa sebakul
bahkan sepikulan. Hal ini dilakukan baik oleh si miskin apalagi yang kaya.
Kriteria pemilihan pemuda calon mantu pun
berdasarkan pada skill sang pemuda yang sudah pintar atau mampu menyangkul, ngored,
ngawaluku atau pintar menggergaji dan mengampak kayu. Begitu pun pemilihan
terhadap pemudinya. Pemudi yang siap dinikahkan itu pemudi yang sudah pintar
ngakeul, ngejo, nandur, dan ngetem dalam tibuat, panen padi.
Sistem berkelompok ini juga dilakukan oleh
pemuda/i yang selepas magrib saat berangkat mengaji. Jika pemuda, akan berada
di depan atau di belakang membawa obor dan pemudinya berada di tengah sambil
menjungjung Quran tangan kirinya, tangan kananya memegang obor sehingga jika
dilihat dari kejauhan seperti untai naga yang membelah malam.
Budaya pembuatan obor ini pun berlangsung
ramai saat malam takbiran. Di setiap pojok kampung terdapat obor. Beduk langgar
pun berbunyi dimainkan oleh sekelompok pemuda. Biasanya dilanjutkan hingga 7
hari pasca lebaran. Biasanya disebut ngadu beduk istilahnya beduk barungan.
Berkumpulnya penduduk pada saat lebaran
berlangsung di saat dan tempat tertentu. Biasanya H + 1 para penduduk menjejali
pemakaman. Pemakaman yang ramai itu di antaranya Makam Salak, Balaraja; Makam
Sumur Bandung, Jayanti; Makam Keramat Solear, Solear; dan Makam Pangeran Jaga
lautan, Pulo cangkir-Kronjo.
Penulis terkesan dengan banyaknya
penduduk, pedagang, dan ramainya petasan dalam berbagai jenis yang di bakar
pengunjung di Makam Salak, Balaraja. Terasa saat itu pemuda/i dari berbagai
ampihan berkumpul di tempat tersebut untuk saling sapa atau jual tampang pada
lawan jenisnya.
B. Perilaku Masyarakat Tangbar Di Era Globalisasi
Seperti kita ketahui Tangerang adalah
negeri seribu industri. Begitupun Tangerang Barat menerima cipratan arus
industri ini sehingga pola perilaku masyarakat Tangerang Barat lambat laun
berubah.
Industri biasanya memberikan banyak
peluang pekerjaan bagi banyak orang. Orang dari berbagai daerah berkumpul di
Tangerang Barat sehingga banyak urban dari daerah Lampung, Palembang, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bima, Sulawesi, Kalimantan, Indonesia Timor pun
berkumpul. Akibat ini pun membuka pelung orang asing dari Cina, Korea, Jepang,
Eropa bekerja di sektor ini.
Dari persentuhan budaya dan aktifitas pun
mengubah pola pergaulan masyarakat setempat. Walaupun di masa lalu sudah banyak
warga pendatang sudah ada seperti pedagang dari priangan, Jawa tengah, Jawa
timur, Madura dan Makasar sudah hadir di sini. Begitu juga warga Cina sudah
ratusan tahun mendiami daerah Tangerang Barat.
Masyarakat Tangerang Barat pada dasarnya
welcome terhadap para pendatang. Dan tidak protektif buktinya banyak penduduk
di sini yang menikah dengan penduduk luar. Akulturasi pun membentuk pola
tingkah laku yang beragam.
Pemuda Tangerang Barat pun tetap
berkerumun tetapi tidak berada di ampihan. Mereka di warung, cape, atau
toserba. Sebagian ada juga yang berkumpul di pinggir jalan, pos Kamling tetapi
sifat mereka selalu nomaden.
Pola pergaulan individualistis juga menjadi trend individu. Mereka yang memiliki kendaraan dengan mudah berkencan dengan pujaan hatinya. Kehidupan pun berubah nafsi-nafsi atau siasia-aingaing.
Pola pergaulan individualistis juga menjadi trend individu. Mereka yang memiliki kendaraan dengan mudah berkencan dengan pujaan hatinya. Kehidupan pun berubah nafsi-nafsi atau siasia-aingaing.
Yang menjadi preseden buruk bagi paradigma
berfikir penduduk Tangerang Barat yakni dalam hal pendidikan. Akibat arus
industri ini paradigma berpikir berpendidikan. Kalau dulu Orang-orang Tangerang
Barat kebanyakan sekolah untuk mendapatkan kemampuan yang mumpuni. Sekarang
banyak penduduk yang berpikir bahwa sekolah asal lulus dan muaranya adalah
bekerja di Pabrik.
Masalah asal-muasal pendidikan,
besar-kecilnya nilai, bahkan tinggi-rendahnya pendidikan bukan ukuran. Fenomena
ini disebabkan tidak ada sistem yang membedakan karena pemerintah maupun
perusahaan tidak memberikan ruang untuk kreatifitas dan prestasi seseorang.
Misalnya saja seorang sarjana yang bekerja di satu bagian produksi akan digaji
sama dengan lulusan SD.
Parahnya lembaga pendidikan pun tidak
mampu memasok manusia yang berkualified untuk menduduki jabatan yang disediakan
juga virus KKN pun telah menjalar di dunia industri. Akibatnya, paradigma ini
menjadi patokan dari tujuan akhir orang-orang Tangerang bersekolah.
Oleh karena itu, kejelian terhadap
fenomena negatif ini harus menjadi konsen bagi pemerintah maupun pemerintah
daerah. Orang-orang Tangerang Barat perlu diberikan pencerahan dalam hal ini
sehingga patut kiranya garansi bagi orang yang berprestasi dan berkarakter oleh
pemerintah, khususnya pemerintah daerah.
Walhasil, konservasi sumber daya manusia
yang berprestasi perlu digalakkan di negeri demarkasi agraris dan industri ini.
Semoga era globalisasi ini tidak mencabut otak-otak brilian dari bumi
Tangbar.
Sumber: http://ozzychastello.blogspot.com/2012/02/asal-mula-nama-daerah-tangerang-dan.html

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda