Fenomena Korupsi di Indonesia dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu
FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG
FILSAFAT ILMU
A.
Pendahuluan
Sebagian
orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki
seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi
belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah
laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia
memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara
terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan
bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman
VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca
kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti
membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan
pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada
masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan
dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada
pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan
memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan
kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan
birokrat.
Sejak
lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga
tertangani dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai
peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi
tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap
justeru terjadi setelah masa reformasi. Fenomena ini membuat kita bertanya
kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi,
mungkinkah kita salah mengartikan tentang apa yang dianggap korupsi dan apa
yang tidak korupsi. Kita perlu berpikir kembali tentang aspek ontologi,
epistemologi dan aksiologi dari korupsi.
Makalah
singkat ini akan mengkaji kembali dari sudut pandang filsafat ilmu tentang
fenomena korupsi di Indonesia. Tulisan ini mengasumsikan bahwa ada yang salah
dalam memahami korupsi di Indonesia yang disebabkan oleh penentuan metodologi
pemaknaan / pendefinisian yang tidak tepat sehingga berbagai upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia hingga sekarang ini tetap
tidak memuaskan.
B.
Ontologi Korupsi
Menurut
Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum
tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan
dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang
merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan
kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah
“perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau “perbuatan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam
pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri.
Kedua
pengertian tersebut hanyalah dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum
atau pejabat dalam bidang hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian
korupsi bisa jauh lebih luas dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang
dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara.
Apakah perbuatan itu merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan
utama.
Untuk
mengkaji lebih jauh, kita merujuk pada apa yang dimaksud korupsi dalam
undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi. Beberapa kata kunci
yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu didalami yaitu kata-kata:
-
“perbuatan”,
- “melawan
hukum”,
-
“memperkaya diri sendiri atau orang lain”,
- “merugikan
keuangangan/perekonomian negara”,
-
“menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya,
-
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
Persoalannya
adalah apakah seluruh rangkaian “gambaran” atau “bayangan” dalam rumusan
tersebut sudah mewakili pemahaman kita yang benar bahwa hal itu adalah korupsi?
Atau ada yang salah dari penggambaran tersebut. Karena itu perlu dikaji lebih
dahulu tentang hakekat atau makna dari penggambaran tersebut secara lebih
mendalam.
Korupsi
adalah rangkaian unsur-unsur (rumusan) yang tertulis dalam undang yang
dicocokan dengan tindakan seseorang pada situasi konktrit. Rumusan dan
unsur-unsur tersebut masih merupakan “gambaran” atau “bayangan”, yang masih
berada dalam pikiran atau idea yang ditulis, dipositifkan dan dianggap sebagai
sesuatu kebenaran. Rangkaian perbuatan konkrit dari “gambaran” atau “bayangan”
tersebut adalah merupakan kejahatan, karena itu yang melakukannya dikenai
hukuman. Apakah betul rangkaian perbuatan tersebut adalah kejahatan? Dalam
kerangka paham positivis “gambaran” atau “bayangan” tersebut dianggap benar dan
dijadikan landasan dalam mengambil putusan bahwa perbuatan konkrit atas
penggambaran tersebut adalah “kejahatan”, tidak perduli apakah gambaran
tersebut bertentangan atau tidak dengan etika atau moralitas dalam masyarakat.
Etika dan moralitas menurut pandangan positivis berada di luar sisi hukum dalam
penerapannya. Karena itu dari sisi pandangan positivis hal itu tidak perlu
dibahas lebih jauh kecuali untuk keperluan ius constituendum (hukum yang
dicita-citakan). Sebaliknya walaupun suatu perbuatan seorang pejabat atau
pegawai negeri yang oleh masyarakat dianggap tercela tidak dapat dikatakan
sebagai korupsi apabila tidak memenuhi unsur-unsur yang ditulis dalam
undang-undang atau sedemikian rupa tidak dapat ditafsirkan sehingga cocok
dengan rumusan undang-undang. Inilah hal pertama yang harus dipahami tentang
korupsi.
Apa yang
dimaksud “perbuatan”, tentunya semua orang memahaminya, Yang menjadi soal
adalah apakah yang dimaksud adalah perbuatan “aktif” saja atau perbuatan
“pasif” (atau tidak berbuat). Memperhatikan rumusan berikutnya yaitu
“memperkaya diri sendiri atau orang lain”, atau “menguntungkan diri sendiri
atau orang lain”, yang merupakan kata kerja maka dapat dipastikan bahwa yang
dimkasud itu adalah perbuatan aktif.”. Dengan demikian perbuatan seseorang baru
dikategorikan korupsi apabila melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk
perbuatan pasif. Artinya; jika terjadi kerugian negara yang menguntungkan
seorang pejabat negara atau orang lain dan dipastikan bukan karena perbuatan
aktif dari pejabat negara tersebut , maka si pejabat negara itu tidak melakukan
perbuatan korupsi. “Perbuatan” itu juga harus memperkaya diri sendiri atau
orang lain. Karena penggunaan kata “atau” antara diri sendiri dan orang lain
maka rumusan ini bersifat alternatif. Dengan demikian memperkaya orang lain
saja walaupun tidak memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian
korupsi ini.
Unsur
selanjutnya adalah “melawan hukum”. Artinya perbuatan yang dilakukan untuk
meperkaya diri sendiri atau orang lain itu adalah merupakan perbuatan “melawan
hukum”. Apa yang dimkasud dengan “melawan hukum”, kembali pada pengertian apa
yang dimaksud dengan hukum itu. Dalam kerangka pandangan positivis, hukum itu
hanyalah undang-undang atau peraturan perundanga-undangan yang telah
diotorisasi/disahkan oleh yang berwenang, di luar itu bukan hukum. Hukum pidana
memberikan batasan yang sangat kaku terhadap apa yang dimaksud dengan perbuatan
melawan hukum itu, karena terikat oleh asas “nullum delictum”, yaitu
suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana sebelum diatur
dalam undang-undang hukum pidana. Walaupun dalam perkembangan terakhir apa yang
dimaksud dengan perbuatan melawan hukum ini tidak saja perbuatan yang melanggar
hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (baca Indriarto Seno Adji
: 2001). Perluasan pengertian ini telah dimuat secara tegas dalam undang-undang
mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Disamping itu suatu perbuatan
yang tidak melawan hukum tetapi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau
sarana yang ada padanya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, juga adalah termasuk perbuatan
korupsi.
Adanya
kata-kata “merugikan perekonomian negara” memberikan perluasan makna kerugian
negara, yaitu baik dalam arti sempit merugikan keuangan negara pada umumnya
termasuk kerugian pada badan-badan usaha milik negara atau proyek-proyek yang
dibiayai dari anggaran negara, juga kerugian terhadap pereknomian negara secara
umum. Artinya akibat perbuatan itu mengganggu perekonomian negara atau membuat
kondisi perekonomian negara tidak stabil atau mengganggu kebijakan perekonomian
negara. Kesemuanya dianggap telah merugikan negara.
Dengan
batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh
pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Seperti yang
ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31) ternyata bahwa pandangan
responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda
satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia,
dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi
untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan
berbeda-beda dari satu responden ke responden lain. Bahkan konvensi PBB
mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi
tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu
upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada pengertian yang sama
mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi.
Demikian
juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang demikian rigid dapat mempersempit
arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Karena pengertian yang sempit itu,
seorang pejabat atau pegawai negeri yang sebenarnya telah melakukan perbuatan
tercela yang seharusnya diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari
tuntutan hukum. Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas
apa yang dimaksud korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan
efektif serta efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan
menguntungkan orang lain walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis
sebagai korupsi padahal bisa jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang
bersangkutan untuk melakukan perbuatan tercela yang berupa korupsi. Karena itu,
sebenarnya inti dari “perbuatan korupsi” adalah “perbuatan tercela”. Untuk
menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu
standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila
mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk
mengurangi korupsi.
Suap menyuap
sebagai sebuah kejahatan telah dikenal sejak adanya pemerintahan. Dalam cerita
Al Qur’an tentang tingkah laku Fir’aun yang menindas rakyatnya dan mengumpulkan
kekayaan yang berlimpah untuk kesenangannya adalah termasuk korupsi. Demikian
juga Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa “dilaknat oleh Allah
bagi pemberi suap dan penerima suap”. Jadi rupanya korupsi bukanlah fenomena
baru dalam kehidupan dunia. Persoalannya yang lebih jauh adalah, apa yang
dimaksud perbuatan-perbuatan : “suap”, “dengan melawan hukum” serta
“menyalahgunakan jabatan atau kedudukannya”, “untuk kepentingan dirinya atau
orang lain” serta “yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”.
Dalam pemahaman umum tentu saja dengan gampang dapat dijawab bahwa
perbuatan-perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tercela atau tidak
bermoral karena merugikan orang lain, karena itu pantas mendapatkan hukuman.
C.
Epistemologi Korupsi
Metodelogi
yang mendasari pengertian korupsi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
pemberantasan korupsi tersebut sangat mempengaruhi rumusan atau batasan apa
yang dimaksud korupsi sebagai sebuah kejahatan dan oleh karena itu harus
dihukum. Dengan dasar apa rumusan tersebut diatas dibuat, apakah hanya karena
anggapan dari pembuatn undang-undang saja atau dari hasil sebuah penelitian
yang merangkum pandangan masyarakat tentang korupsi. Nampaknya beberapa
persoalan metodologis seperti ini tidak tergambar dengan jelas dalam rumusan undang-undang
tersebut. Paling mungkin yang terjadi adalah rumusan tersebut berasal dari
pandangan para ahli atau pandangan dari pembentuk undang-undang saja dan tidak
melalui sebuah proses penelitian atas pandangan masyarakat tentang korupsi. Apa
yang secara tepat disebut korupsi dari sudut pandang pekerjaan berokrasi bisa
berbeda dengan sisi pandangan masyarakat. Karena itu, bisa saja suatu perbuatan
adalah korupsi menurut pandangan masyarakat tetapi dari pandangan cara kerja
birokrasi hal itu bukanlah korupsi.
Mengamati
kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan
negara apakah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan
pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih
tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan
keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu
negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank
yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia negara. Orang kaya akan
banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masyarakat, tidak perduli apakah
kekyaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal. Bahkan banyak
anggota masyarakat yang berani mati membela orang kaya. Jadi tidak seluruhnya
benar bahwa korupsi merugikan orang lain dan merugikan negara atau merupakan
perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya.
Jika cara
pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada banyak aspek perbuatan
korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak
sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita
sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan
kekayaan. Sementara, pada sisi lain cara pandang yang dijadikan dasar untuk
mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan kita
adalah cara pandang yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya
mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam kepala itulah yang diasumsikan sebagai
kebenaran, padahal ide tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya
terjadi. Dalam perumusan tindak pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai
kebenaran dan ide itu dipositifkan kedalam undang-undang. Padahal ide banyak
hambatannya dalam melihat suatu kebenaran. Sir Francis Bacon seorang filosof
Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004 : 28-29) tidak begitu yakin dengan kebenaran
ide, karena ide kadang-kadang terhambat oleh adanya “idola”, yaitu
rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga
kita tidak kritis menilai sesuatu. Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola”
yang menjadi rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus,
yaitu semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan
tatanan alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola
cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan
kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan. Ketiga idola fora,
yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga
mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat
idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan
kenyataan subyektif dari para filosofnya.
Karena itu
pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu
sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami
bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang
lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga,
membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat,
menguntungka rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara tidak langsung
dan perbuatan-perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai
perbuatan korupsi. Pandangan Immanuel Kant (Mohammad Muslih, 2005 :62),
mengenai putusan dapat menjadi acuan untuk melihat epistemologi korupsi, yaitu
apa yang disebut oleh Kant dengan putusan “sintetis a priori”. Kant
membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu pertama, putusan analitis a priori;
yaitu prediket tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek karena sudah
termuat didalamnya (misalnya setiap benda menempati ruang). Kedua, Putusan sintesis
aposteriori; misalnya pernyataan “meja itu bagus”, disini prediket
dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan
setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang telah diketahui.
Ketiga, sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber
pengetahuan yang kendati bersifat sintetis namun bersifat a priori juga.
Misalnya putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya. Putusan
yang ketiga ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori) namun putusan
ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab didakam
pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian sebab. Maka
di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Pendekatan sintesis
a priori dalam memahami korupsi lebih mendekati kebenaran apa sebenarnya
korupsi itu.
Korupsi
harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu tidak mungkin terjadi
kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang menimbulkan akibat. Karupsi adalah
akibat, yiatu akibat dari sistem yang longgar. Sistem yang memberikan peluang
orang untuk melakukan korupsi. Korupsi juga adalah akibat dari kehilangan
idealisme dan pengutamaan pada materialisme. Sementara, dengan kondisi
pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin
memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan
materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.
Demikian
juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang bahwa suap itu adalah
perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal “suap” itu dibutuhkan
untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat kapitalisme dan ekonomi pasar.
Pasarlah yang menentukan seseorang untuk mengambil suatu putusan. Persaingan
kehidupan modern sekarang selalu diukur dengan kecepatan dan ketepatan dalam
bertindak, karena jika tidak, maka pasti akan ketinggalan. Itulah filsafat abad
modern. Ketaatan pada aturan main kadang dianggap bisa menghambat kemajuan
ekonomi dan persaingan dalam dunia bisnis yang serba cepat. Karena itulah
negosiasi pelanggaran lalulintas di jalan antara polisi dan pelanggar
lalulintas untuk memberi dan menerima suap adalah lebih efektif dan efisien
daripada diproses tilang yang harus datang ke pengadilan menghabiskan waktu dan
biaya yang bisa lebih besar. Demikian juga dalam pengurusan ijin-ijin usaha dan
lisensi yang membutuhkan kecepatan maka pemberian hadiah dan fasilitas bagi
penentu kebijakan akan dapat mempercepat penyelesaian perijinan dan
dikeluarkanya kerbijakan itu. Pemegang saham dan atasan di perusahaan akan
memberikan apresiasi yang luar biasa atas pekerjaan seseorang atau pimpinan
perusahaan yang efektif dan efisien untuk kemajuan perusahaan dan secara tidak
langsung akan menguntungkan bagi negara karena negara akan mendapat pemasukan
pajak yang lebih besar dan karyawan akan mendapat kesejahteraan lebih baik.
Jadi “suap” dari sudut pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan
efektifitas dan efisiensi dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak
merugikan negara atau orang lain. Sedangkan undang-undang anti korupsi melihat
masalah “suap” dari sudut pandang filsat idealisme saja.
Perbuatan
menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain walaupun dapat merugikan negara, tidak selalu
berkonotasi jahat sehingga harus dihukum dan dianggap korupsi jika dipandang
dari filsafat materialisme itu. Dalam banyak kasus korupsi, koruptor merasa
telah banyak berjasa pada negara dengan berjuang dan bekerja keras sehingga
negara diuntungkan dari kerjanya itu. Negara pada sisi lain tidak memberikan
kontra prestasi material kepada yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan
merasa sah-sah saja mendapatkan uang dari negara dalam berbagai bentuknya
seperti “tantiem”.
Dengan
demikian perlu dikaji kembali apa yang dimkasud perbuatan korupasi itu sehingga
kita dapat memberikan definisi yang tepat tentang yang disebut “korupsi” dan
apa yang tidak “korupsi”, dan tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang
saja pikiran ideal dari para pembentuk undang-undang yang sebenarnya bisa bias
kalau dilihat dari sisi empiris. Disamping itu pendekatan hukum untuk memahami
korupsi tidak saja dilakukan dengan pendekatan dari pandangan positivis, tetapi
juga dilihat dari sudut pandang legal realism.
D. Kesimpulan
Dari uraian
tersebut di atas dari kajian filsafat ilmu terdapat banyak kekurangan yang
ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi
rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut ternyata tidak menjangkau
seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap “korup” dan apa yang
tidak. Sehingga rumusan tersebut potensial tidak menyentuh seluruh aspek
perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai perbuatan “korup”, dan
bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan korupsi, padahal
sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat dihukum.
Persoalan
tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya epistemologi penentuan suatu perbuatan
sebagai perbuatan korupsi. Nampaknya pembentuk undang-undang lebih banyak
mempergunakan pendekatan dari sisi idealisme dan tidak berdasarkan pendekatan
sisi materislisme dan empiris. Disamping itu, dari sisi filsafat hukum
pendekatan yang dipergunakan lebih menonjolkan sisi pandang positivis dibanding
sudut pandang prgamatis dan “legal realisme”. Apa yang diuraikan di atas
adalah baru dari satu persoalan saja yaitu persoalan rumusan tindak pidana
korupsi dan suap belum lagi persoalan-persoalan lain yang diatur dalam
undang-undang pemberantasan korupsi itu.
Penggunaan
pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat
berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan pendekatan
berakibat salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya
pemberantasan korupsi. Untuk penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih
komprehensip dalam membuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
dan dalam implementasinya yaitu tidak saja menggunakan pendekatan idealisme,
tapi perlu juga pendekatan lainnya yaitu pendekatan dari sudut pandang
materialisme dan pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini akan
dapat memberikan pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi.
Sumber: https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/fenomena-korupsi-dari-sudut-pandang-filsafat-ilmu/
Sumber: https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/fenomena-korupsi-dari-sudut-pandang-filsafat-ilmu/

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda